Senin, 07 Januari 2008

SIMPTOMATOLOGI GANGGUAN JIWA

Menurut pandangan patologi, gangguan jiwa atau tingkah laku abnormal adalah akibat dari keadaan sakit atau terganggu yang jelas kelihatan berdasarkan gejala – gejala klinis yang ditampilkan.
Gejala – gejala tertentu yang ditampilkan tersebut berbeda dengan yang ditampilkan pada orang – orang yang tidak terganggu jiwanya (normal). Karena itu untuk melihat apakah seseorang itu terganggu jiwanya atau tidak, dapat dipelajari dari gejala – gejala yang ditampilkannya.

DEFINISI

Simptomatologi adalah ilmu yang mempelajari tentang gejala – gejala.
Simptomatologi gangguan jiwa berarti ilmu yang mempelajari gejala – gejala gangguan jiwa. Dalam kerja psikiatri (ilmu tentang cara pengobatan jiwa yang sakit), mempelajari gejala – gejala sangat penting artinya. Tidak saja untuk menentukan atau mengklasifikasikan gangguan yang dialami penderita, tetapi yang lebih pentingadalah untuk mengidentifikasi sebab – sebab dari gangguan tersebut (etiologi).

Mengobati atau menyembuhkan suatu penyakit/gangguan jiwa berarti upaya untuk menghilangkan suatu sebab dan bukan sekedar menghilangkan suatu gejala. Suatu gejala hanyalah manifestasi dari adanya gangguan dan bukan sebab, namun untuk menemukan sesuatu yang menyebabkan gangguan tersebut dapat dilakukan dengan mempelajari gejala – gejalanya.

Gejala adalah sesuatu yang adanya dipermukaan, sedang sebab adanya dibalik atau di bawah gejala. Sesuatu gangguan dapat dengan mudah dikenali melalui gejala-gejalanya, sedangkan untuk menemukan sebab – sebabnya harus dilakukan melalui studi yang mendalam tentang gejala – gejalanya. Dalam pandangan psikopatologi modern, dikatakan bahwa setiap gejala mempunyai arti yang dapat menjelaskan perkembangan psikodinamik dari penyakit si penderita.

Pada hakekatnya, tiap gejala merupakan satu segi dari proses gangguan secara keseluruhan. Misalnya seorang yang mengalami gangguan pikiran, bukan berarti yang terganggu hanya pikirannya saja sementara aspek yang lain tetap sehat, tetapi sebenarnya gangguan tersebut merupakan gangguan keseluruhan kepribadian. Hanya yang lebih dominan atau lebih menjadi pusat perhatian kita pada aspek pikirannya. Disamping itu, gejala yang dapat dialami atau dilihat dari dalam (misal takut yang irrasional) atau dapat dilihat dari luar (misal berkeringat dingin pada penderita katatonik).

Gejala gangguan mental pada umumnya bersifat kompleks dan merupakan hasil interaksi antar unsure somatika, psikogenik, dan sosiobudaya. Karena itu, gejala selalu menunjukkan adanya dekompresi proses adaptasi dan terdapat terutama dalam pemikiran, perasaan, dan perilaku.

Bagaimana pentingnya mempelajari gangguan jiwa tampak dalam suatu proses penyembuhan yang dilakukan oleh seorang terapis atau dokter. Sebelum terapis atau dokter tersebut memberikan treatment tertentu, maka langkah awal yang dikerjakan adalah melakukan pemeriksaan.

Secara umum, menurut Maramis (1990), pemeriksaan terhadap penderita gangguan jiwa diperlukan untuk mendapatkan satu atau lebih hal – hal berikut ini :
1. Menemukan dan menilai gangguan jiwa yang ada, yang akan dipakai sebagai dasar pembuatan dignosis serta menentukan tingkat gangguan pengobatannya (indikasi pengobatan psikiatri khusus) dan selanjutnya penafsiran prognosisnya (ramalan hasil atau akibat suatu penyakit yang diderita seseorang).
2. Menggambarkan struktur kepribadian yang mungkin dapat menerangkan riwwayat dan perkembangan gangguan jiwa yang dialami.
3. Menilai kemampuan dan kemauan pasien dalam berpartisipasi secara wajar dalam pengobatan yang cocok baginya.

Hasil pemeriksaan jiwa pasien yang telah dilakukan, selanjutnya disusun dalam bentuk laporan, diharapkan dapat menggambarkan keadaan jiwa pasien dalam arti luas. Karena itu harus mengandung banyak hal tentang aspek kejiwaan manusia itu sendiri, seperti : afek, emosi, cara berbicara (ucapan), proses berpikir (bentuk, isi, dan jalan pikiran), kesadaran, psikomotor, persepsi, fungsi kognitif, termasuk didalamnya persepsi, dan sebagainya. Karena itu pula studi tentang gangguan kejiwaan juga mencakup tentang gangguan – gangguan dalam aspek tersebut.

Untuk memperoleh data tentang gejala – gejala dalam banyak hal tersebut, caranya dapat dilakukan dengan tes maupun nontes. Dengan tes misalnya melalui tes – tes psikologik (tes intelegensi atau tes kepribadian). Dengan nontes misalnya melalui wawancara atau observasi terhadap reaksi-reaksi yang ditampilkan (yaitu reaksi umum dan sikap badan, ekspresi muka, mata, reaksi terhadap apa yang dikatakan dan diperbuat, reaksi otot, reaksi emosi yang tampak, reaksi bicara, wujud tulisan, dan sebagainya).

Pada pasien yang dalam pemeriksaan menunjukkan perilaku tidak kooperatif atau tidak mau bicara (diam), bukan berarti gejalanya tidak ada, sebab tidak kooperatif atau tidak mau bicara itu sendirinsudah merupakan gejala yang penting dalam pemeriksaan.

Dengan demikian, salah satu tujuan pemeriksaan penderita gangguan jiwa adalah untuk menemukan gejala – gejala yang ada pada penderita tersebut, pembuatan diagnosis, pembuatan jenis dan tingkat gangguan yang dialami, pilihan pengobatan dan sebagainya.

Gejala – gejala gangguan jiwa pada umumnya dapat dipahami dari dua segi, yaitu :
1. Deskriptif, hanya melukiskan bagaimana gejala itu terjadi tanpa menerangkan makna dan dinamikanya. Misal : terjadi halusinasi berulang – ulang atau pada saat-saat tertentu (pagi hari) tanpa menerangkan halusinasi apa dan sebagainya.
2. Psikodinamik, tidak hanya menerangkan tentang bagaimana gejala itu terjadi tetapi juga dinamikanya. Misal : kapankah terjadinya, tentang apa gangguannya, bagaimana prosesnya, reaksi psikologis yang ditampilkan kemudian, dan sebagainya.

Dalam mempelajari gejala-gejala gangguan jiwa, perlu dipahami istilah penting sebagai berikut :
a. Sindrom
Sindrom/sindroma adalah kumpulan gejala yang membedakan antara penyakita atau gangguan yang satu dengan yang lain. Misalnya ada sejumlah gejala (a,b,c). Ketiga gejala tersebut dapat dipahami tentang adanya penyakit tertentu. Jadi sifatnya khas dan menunjukkan suatu penyjakit tertentu.
b. Sign
Sign adalah gejala-gejala yang dapat diobservasi (observable) dan pada umumnya bersifat objektif (mengenai fisik).
c. Simptom
Simptom adalah gejala-gejala yang tidak dapat diobservasi (unobservable) oleh orang lain, tetapi mungkin merupakan gejala bagi orang yang bersangkutan. Jadi sifatnya subjektif, karena itu harus ditanyakan kepada yang bersangkutan.
d. Gejala primer primer & sekunder
Gejala primer dan sekunder dibedakan atas urutan munculnya gejala. Gejala primer adalah gejala pertama yang dialami oleh seseorang, sedangkan gejala sekunder gejala yang muncul kemudian. Misalnya seorang penderita insomnia (sulit tidur) kemudian diikuti munculnya halusinasi. Ini berarti insomnia adalah gejala primer dan halusinasi adalah gejala sekunder.
e. Gejala dasar dan gejala tambahan
Gejala dasar adalah gejala-gejala yang ada dalam tiap gangguan tertentu, terutama setelah gangguan tersebut mencapai intensitas tertentu, atau gejala utama dari suatu gangguan tertentu. Gejala ini penting untuk kepentingan diagnosis. Sedangkan gejala tambahan adalah gejala-gejala yang belum tentu ada pada setiap gangguan. Misalnya pada penderita skizophrenia, maka gejala dasarnya adalah kerancuan pikiran, sedang gejala tambahannya dapat berupa halusinasi, ilusi, dan sebagainya yang mungkin berbeda untuk setiap penderitanya.
f. Gejala organogenik dan gejala psikogenik
Pembedaan gejala ini berdasarkan pada asal atau sebabnya. Gejala organogenik adalah gejala-gejala yang muncul sebagai akibat dari adanya gangguan fungsi organik. Sedangkan gejala psikogenik adalah gejala-gejala yang muncul dan berasal dari adanya gangguan-gangguan dalam fungsi psikologis, yang terutama berakar pada alam kesadarannya. Misalnya seseorang yang pusing karena banyak pikiran, merupakan gejala psikogenik. Sedangkan orang yang pusing karena keracunan makanan adalah gejala organogenik, sekalipun gejala yang ditampakkan bersifat kejiwaan.
g. Gejala prodomal dan residual
Gejal prodomal adalah gejala-gejala yang ditunjukkan sebelum sakit, pada awal sakit, atau selama fase sakit. Sedangkan gejala residual adalah gejala-gejala yang ditunjukkan sesudah fase sakit.
h. Perilaku sakit, peran sakit, dan peran pasien (illness behavior, sick role, and patient role)
Perilaku sakit (illness behavior) yaitu reaksi penderita terhadap pengalamannya sebagai orang sakit yang merupakan respon unik individu tentang kesadarannya bahwa ia sakit (orang yang sakit gigi responnya berbeda dengan yang sakit kepala). Perilaku sakit ini misalnya ; meraung-raung, teriak-teriak, dan sebagainya.

Peran sakit (sick role) merupakan aspek lain dari perilaku sakit, yaitu peran penderita yang diberikan masyarakat dalam kaitannya dengan kesadaran sekeliling. Seperti dilayani, disuruh tidur, disuruh berobat, disuruh periksa, dan perilaku mencari kesehatan (heakth seeking behavior). Bagamana peran seseorang yang sakit sangat ditentukan oleh masyarakatnya.

Peran pasien (patient role) pengertiannya lebih sempit dibanding peran sakit, karena merupakan salah satu akibat dari peran sakit dan hanya dijumpai pada penderita yang sudah berstatus sebagai pasien. Peran sakit ini seperti ; patuh pada otoritas dokter, minum obat teratur, dan banyak istirahat. Peran pasien sangat ditentukan oleh pihak medis.

2 komentar:

Unknown mengatakan...

Thanks infonya, azin mengopi ya pak, buat tambah pengetahuan

Unknown mengatakan...

Thanks infonya, izin mengopi ya pak, buat tambah pengetahuan