Selasa, 27 November 2007

PERLUKAH CURHAT TENTANG DIRI SENDIRI ?

Dalam kehidupan sosial di masyarakat, individu seringkali dirundung rasa curiga dan tidak percaya diri yang kuat sehingga tidak berani menyampaikan berbagai gejolak atau pun emosi yang ada di dalam dirinya kepada orang lain, apalagi jika menyangkut hal-hal yang dianggapnya tidak baik untuk diketahui orang lain. Akibatnya individu tersebut lebih banyak memendam berbagai persoalan hidup yang akhirnya seringkali terlalu berat untuk ditanggung sendiri sehingga menimbulkan berbagai masalah psikologis maupun fisiologis. Banyak individu yang mengatakan bahwa mereka sulit sekali mengungkapkan diri (mengatakan pendapat, perasaan, cita-cita, rasa marah, jengkel, dsb) kepada orang lain, bahkan tidak pernah berbagi informasi jika tidak diminta / ditanya. Hal yang menarik adalah mereka mengakui bahwa kondisi tersebut sangat tidak nyaman dan cenderung membuat mereka dijauhi oleh rekan atau pun anggota keluarganya sendiri. Meskipun di satu sisi mereka merasa ragu dan takut untuk mengungkapkan diri, namun di sisi lain mereka merasa bahwa hal tersebut sangat diperlukan untuk meringankan beban diri sendiri.

Menyikapi permasalahan diatas, maka kita perlu mengetahui mengapa pengungkapan diri perlu dilakukan dan mengapa, bagi sebagian individu, hal ini amat sulit untuk dilaksanakan. Pertanyaan mendasar adalah mengapa kita harus memberitahu orang lain tentang diri kita sendiri. Lalu bagaimana cara mengungkapkan diri secara tepat sehingga tidak menimbulkan penyesalan bagi diri sendiri dan menambah beban bagi orang lain.

Dasar Pemikiran

Pengungkapan diri atau "self disclosure" dapat diartikan sebagai pemberian informasi tentang diri sendiri kepada orang lain. Informasi yang diberikan tersebut dapat mencakup berbagai hal seperti pengalaman hidup, perasaan, emosi, pendapat, cita-cita, dan lain sebagainya. Pengungkapan diri haruslah dilandasi dengan kejujuran dan keterbukaan dalam memberikan informasi, atau dengan kata lain apa yang disampaikan kepada orang lain hendaklah bukan merupakan suatu topeng pribadi atau kebohongan belaka sehingga hanya menampilkan sisi yang baik saja.

Untuk menjawab pertanyaan mengapa seseorang perlu memberitahu orang lain tentang dirinya sendiri, maka hal tersebut harus dilihat sebagai suatu siklus yang melibatkan 3 (tiga) hal yaitu pengungkapan diri, hubungan persahabatan dan penerimaan terhadap diri sendiri. Adapun penjelasannya adalah sebagai berikut:

•Merupakan suatu hal yang sangat baik jika anda mengatakan kepada teman atau orang lain yang berinteraksi dengan anda bagaimana mereka dapat mempengaruhi anda. Dengan mengungkapkan perasaan dan berbagi pengalaman maka akan dapat semakin mempererat hubungan persahabatan.
•Penerimaan teman atau orang lain akan memudahkan anda untuk dapat menerima kondisi diri anda sendiri.
•Karena anda sudah dapat menerima diri sendiri dan merasa nyaman dengan kondisi tersebut, maka anda lebih mudah untuk mengungkapkan diri sehingga hubungan dengan teman anda terasa lebih menyenangkan.
•Dengan adanya berbagai masukan dari orang lain, rasa aman yang tinggi, dan penerimaan terhadap diri, maka anda akan dapat melihat diri sendiri secara lebih mendalam dan mampu menyelesaikan berbagai masalah hidup.

Meski diakui bahwa pengungkapan diri sangat penting bagi perkembangan individu, namun sebagian orang masih enggan untuk melakukannya. Pada dasarnya keengganan atau kesulitan individu dalam mengungkapkan diri banyak dilandasi oleh faktor risiko yang akan diterimanya di kemudian hari, di samping karena belum adanya rasa aman dan kepercayaan pada diri sendiri. Risiko yang dimaksud dapat berupa bocornya informasi yang telah diberikan pada seseorang kepada pihak ketiga padahal informasi tersebut dianggap sangat pribadi oleh si pemberi informasi, atau bisa juga informasi yang disampaikan justru menyinggung perasaan orang lain sehingga dapat mengganggu hubungan interpersonal yang sebelumnya sudah terjalin dengan baik. Selain itu pengungkapan diri pada orang atau kondisi yang tidak tepat justru akan menjadi bumerang bagi si pemberi informasi. Selain faktor risiko, faktor pola asuh juga berperan penting. Dalam keluarga atau lingkungan yang tidak mendukung semangat keterbukaan dan kebiasaan berbagi informasi maka individu akan sulit untuk bisa mengungkapkan diri secara tepat. Itulah sebabnya mengapa sebagian orang amat sulit berbagi informasi dengan orang lain, sekali pun informasi tersebut sangat positif bagi dirinya dan orang lain.

Meskipun pengungkapan diri mengandung risiko bagi si pelaku (pemberi informasi) namun para ahli psikologi menganggap bahwa pengungkapan diri sangatlah penting. Hal ini dasarkan pada pendapat yang mengatakan bahwa pengungkapan diri (yang dilakukan secara tepat) merupakan indikasi dari kesehatan mental seseorang. Penelitian menunjukkan bahwa individu yang mampu mengungkapkan diri secara tepat terbukti lebih mampu menyesuaikan diri (adaptive), lebih percaya pada diri sendiri, lebih kompeten, extrovert, dapat diandalkan, lebih mampu bersikap positif dan percaya terhadap orang lain, lebih obyektif dan terbuka (David Johnson, 1981; dalam mentalhelp.net). Selain itu para ahli psikologi juga meyakini bahwa berbagi informasi dengan orang lain dapat meningkatkan kesehatan jiwa, mencegah penyakit dan mengurangi masalah-masalah psikologis yang menyangkut hubungan interpersonal. Dari segi komunikasi dan pemberian bantuan kepada orang lain, salah satu cara yang dianggap paling tepat dalam membantu orang lain untuk mengungkapkan diri adalah dengan mengungkapkan diri kita kepada orang tersebut terlebih dahulu. Tanpa keberanian untuk mengungkapan diri maka orang lain akan bertindak yang sama, sehingga tidak tercapai komunikasi yang efektif.

Secara lebih lengkap manfaat-manfaat dari pengungkapan diri dapat disebutkan sebagai berikut:
•Meningkatkan kesadaran diri (self-awareness). Dalam proses pemberian informasi kepada orang lain, anda akan lebih jelas dalam menilai kebutuhan, perasaan, dan hal psikologis dalam diri anda. Selain itu, orang lain akan membantu anda dalam memahami diri anda sendiri, melalui berbagai masukan yang diberikan, terutama jika hal itu dilakukan dengan penuh empati dan jujur.
•Membangun hubungan yang lebih dekat dan mendalam, saling membantu dan lebih berarti bagi kedua belah pihak. Keterbukaan merupakan suatu hubungan timbal balik, semakin anda terbuka pada orang lain maka orang lain akan berbuat hal yang sama. Dari keterbukaan tersebut maka akan timbul kepercayaan dari kedua pihak sehingga akhirnya akan terjalin hubungan persahabatan yang sejati.
•Mengembangkan ketrampilan berkomunikasi yang memungkinkan seseorang untuk menginformasikan suatu hal kepada orang lain secara jelas dan lengkap tentang bagaimana ia memandang suatu situasi, bagaimana perasaannya tentang hal tersebut, apa yang terjadi, dan apa yang diharapkan.
•Mengurangi rasa malu dan meningkatkan penerimaan diri (self acceptance). Jika orang lain dapat menerima anda maka kemungkinan besar anda pun dapat menerima diri anda.
•Memecahkan berbagai konflik dan masalah interpersonal. Jika orang lain mengetahui kebutuhan anda, ketakutan, rasa frustrasi anda, dsb, maka akan lebih mudah bagi mereka untuk bersimpati atau memberikan bantuan sehingga sesuai dengan apa yang anda harapkan.
•Memperoleh energi tambahan dan menjadi lebih spontan. Harap diingat bahwa untuk menyimpan suatu rahasia dibutuhkan energi yang besar dan dalam kondisi demikian seseorang akan lebih cepat marah, tegang, pendiam dan tidak riang. Dengan berbagi informasi hal-hal tersebut akan hilang atau berkurang dengan sendirinya.

Beberapa Kiat

Bagi anda yang mengalami masalah dalam mengungkapkan diri kepada orang lain, ada 4 (empat) langkah yang dapat anda lakukan agar pengungkapan diri dapat berjalan efektif. Keempat langkah tersebut adalah:

Langkah 1: Tanyakan pada diri sendiri, sejauhmana saya akan membuka diri? Hal-hal apa yang bisa saya bagi dengan orang lain dan kepada siapa?

Setiap orang memiliki rahasia pribadi. Hal tersebut sangatlah normal karena setiap orang tentu ingin menjaga agar hal-hal khusus tidak perlu diketahui oleh orang lain. Sayangnya banyak rahasia yang sebenarnya justru tidak perlu dirahasiakan karena tidak membahayakan diri sendiri dan orang lain, tetapi karena takut orang lain tidak memahami rahasia tersebut maka rahasia ini disimpan terus-menerus . Hal inilah yang harus diperhatikan oleh anda jika ingin mengungkapkan diri.

Langkah 2: Lakukan persiapan sebelum membuka diri. Atasi terlebih dahulu kekhawatiran dan ketakutan anda.

Untuk mengatasi kekuatiran, ketakutan atau ketidakpercayaan diri, anda dapat memulai pengungkapan diri dengan memilih topik pembicaraan pada hal-hal yang ringan dan santai. Contohnya: berbagi cerita tentang acara televisi atau film yang disukai, perawatan mobil/motor, kegiatan di sekolah atau kantor, dll. Pada awalnya usahakan untuk tidak mengutarakan berbagai perasaan atau opini pribadi. Jika tahapan ini sudah anda lalui dan berhasil dengan baik, barulah anda memilih orang yang dapat anda percayai untuk mengemukakan pendapat pribadi maupun perasaan anda tentang suatu hal, misalnya utarakan apa yang anda rasakan dan apa yang anda harapkan dari teman anda. Secara berangsur-angsur lakukan hal tersebut dengan beberapa yang berbeda. Dengan cara ini anda akan menjadi mudah untuk memulai komunikasi dan selanjutnya menjadi terbiasa dalam berbagi informasi.

Langkah 3: Tingkatkan terus ketrampilan anda dalam mengungkapkan diri. Pelajari cara-cara mengungkapkan diri dan bagaimana memberikan masukan yang bermanfaat.

Pengungkapan diri melibatkan cara-cara penyampaian informasi yang baik dan jelas sehingga tidak menimbulkan kesalahpahaman bagi orang yang menerima informasi tersebut. Jika anda ingin berbagi informasi maka kemukakan hal itu sejelas-jelasnya, hindari ketidakjujuran, kemukakan dengan bahasa sederhana dan jangan berbelit-belit. Jangan berasumsi bahwa orang lain akan memahami anda, mengetahui perasaan dan kebutuhan anda tanpa harus anda katakan. Ingatlah bahwa tidak ada seorangpun yang dapat membaca pikiran anda. Jadi andalah yang harus mengatakan dan menjelaskan apa perasaan anda, apa kebutuhan anda saat ini dan apa yang anda harapkan dari orang lain. Jika ada hal-hal yang anda rasakan kurang jelas, bertanyalah pada saat ini dan jangan berasumsi.

Dalam mengungkapkan diri, secara tidak langsung sebenarnya anda juga memberikan masukan kepada orang lain dan sebaliknya. Oleh karena itu dalam memberikan berbagai masukan kepada teman (orang yang diberi informasi) anda perlu memperhatikan hal-hal sebagai berikut:
•Masukan yang diberikan tidak boleh bernada ancaman. Fokuskan pada permasalahan dan bukan pada kepribadian si lawan bicara.
•Fokus pada masalah yang sedang dibahas, jangan ngalur-ngidul ke masalah-masalah lain atau ke masa lalu
•Jangan memberi masukan jika tidak diperlukan, tidak mungkin dilaksanakan atau diterima, atau jika usulan tersebut sudah tidak berguna. Berikan hanya masukan yang benar-benar masuk akal, bersifat membangun dan tidak rumit.

Langkah 4: Ungkapkan diri anda secara tepat dengan pemilihan waktu dan situasi yang tepat pula.

Agar dapat mengungkapkan diri secara tepat pada waktu atau situasi yang tepat, perlu memperhatikan beberapa hal sebagai berikut:
•Pertama-tama anda harus memiliki suatu alasan mengapa anda perlu membuka diri.
•Dengan siapa anda akan berbicara..teman dekat? orangtua? atasan? kenalan baru? atau siapa?
•Sejauhmana pengungkapan diri anda akan membahayakan diri anda sendiri?

Dengan mempertimbangkan ketiga hal tersebut maka anda akan dapat mengungkapkan diri secara tepat dan proporsional sehingga akan bermanfaat bagi diri anda dan orang lain. Bagi anda yang sangat sulit membuka diri kepada orang lain, maka akan sangat baik jika anda membuat semacam catatan kecil tentang hal-hal yang telah anda ungkapkan pada orang lain dan pengaruhnya terhadap perkembangan diri anda.

Mengingat kodrat manusia sebagai makhluk sosial dan dengan melihat berbagai manfaat yang akan diperoleh jika seseorang dapat mengungkapkan diri secara tepat, maka tidak ada pilihan lain bagi setiap individu selain belajar untuk dapat mengungkapkan diri. Ketidakmampuan untuk mengungkapkan diri akan sangat merugikan perkembangan jiwa individu yang bersangkutan. Meskipun demikian, keputusan untuk membuka diri dan berbagi informasi dengan orang lain haruslah dilakukan secara hati-hati dan bijaksana. Dengan melihat beberapa kiat diatas, individu diharapkan dapat memiliki kepercayaan diri dalam membuka diri bagi orang lain sehingga dapat tercipta hubungan interpersonal yang sehat. Bahwa dalam kenyataan pasti ada risiko yang harus ditanggung jika seseorang berani mengungkapkan diri kepada orang lain, misalnya informasi yang diberikan dimanipulasi oleh si penerima informasi, atau pun dikhianati oleh orang yang sangat dipercayai, tentu tidak dapat dipungkiri. Namun demikian dengan cara-cara yang bijak dan perencanaan yang baik maka hal itu pasti akan dapat dikurangi. Jika diambil persamaan maka pengungkapan diri sama saja dengan jatuh cinta: ada risiko yang harus ditanggung tetapi amat sulit untuk ditolak.
(deas)

Selamat mencoba.

Minggu, 25 November 2007

PENGKAJIAN FISIK KEPERAWATAN PENGANTAR UNTUK MAHASISWA KEPERAWATAN

Pendahuluan

1. Wawancara Keperawatan
2. Pengkajian Fisik : Pendekatan, tehnik pengkajian, kriteria, metode
Pengkajian Fisik sistem "head to toe" meliputi :
a. Sistem Syaraf Pusat
b. Sistem Jantung dan pembuluh darah
c. Sistem Pernafasan
d. Sistem Pencernaan
e. Sistem Perkemihan
f. Sistem Integumen
g. Sistem Muskuloskeletal
h. Sistem Physikososial
3. Dokumentasi Keperawatan

Pendahuluan

Pengkajian fisik keperawatan pada klien dalam kondisi sehat-sakit penting dilakukan oleh perawat untuk menentukan data subjektif dan data objektif yang akan dipergunakan dalam merumuskan Diagnosa dan Rencana Asuhan Keperawatan.
Proses pengkajian fisik keperawatan meliputi tiga tahap :
1. Wawancara (Interview)
2. Pemeriksaan fisik
3. Pendokumentasian : yang meliputi tahapan perumusan diagnosa keperawatan, tujuan dan rencana intervensi keperawatan.

1. Wawancara (Interview)

Tujuan dari wawancara adalah untuk merumuskan data base yang lengkap yang nantinya berhubungan dengan data sekarang dan masa lalu status kesehatan klien, yang nantinya membantu perawat menyusun Asuhan keperawatan dan membina hubungan saling percaya (trust relationship) dengan klien. Hasil wawancara ini juga akan mampu menggali informasi tentang persepsi pasien terhadap kesehatan, perhatian tentang sehat-sakit dan kebutuhan penyuluhan kesehatan. Keberhasilan dalam wawancara sangat bergantung terhadap ketrampilan komunikasi keperawatan si perawat yang bersangkutan dan penerimaan klien, serta kondisi dan situasi lingkungan. Faktor yang mempengaruhi hasil suatu wawancara adalah : keterbatasan privacy, stress emosional dan fisik, hambatan bahasa dan adanya interupsi dari pihak lain.
Apabila tidak memungkinkan melakukan wawancara dengan klien, maka sumber data dapat diperoleh dari file/rekam medik, catatan keperawatan, dan riwayat pengobatan, penyakit dan dari keluarga.
Beberapa kriteria penting dalam wawancara meliputi : status kesehatan saat ini, keluhatan utama dan gejala yang dirasakan, riwayat penyakit masa lalu, riwayat sosial dan keluarga, manajemen pengobatan dan perawatan saat ini, persepsi tentang penyakit yang diderita dan pemahaman akan penatalaksanaan medis dan rencana keperawatan
Wawancara yang dilakukan hendaknya mengarahkan perawat untuk memudahkan dalam pengkajian fisik terkait dengan keluhan klien, sehingga terfokus kepada satu sistem tubuh yang terkena penyakit.

2. Pemeriksaan Fisik

Dari hasil wawancara maka perawat akan dapat lebih terfokus kepada satu sistem tubuh yang terkait dengan penyakit yang diderita klien. Ada 2 metode pendekatan dalam pemeriksaan fisik yaitu pendekatan sistem tubuh dan pendekatan head to toe (ujung kepala – ke kaki). Sangat direkomendasikan kita mengkombinasikan kedua pendekatan tersebut Sangat baik jika kita sebagai perawat memulai pemeriksaan fisik dari kepala dan leher, kemudian ke dada, dan abdomen, daerah pelvis, genital area, dan terakhir di ekstremitas (tangan dan kaki). Dalam hal ini dapat saja beberapa sistem tubuh dapat dievaluasi sekaligus, sehingga pendokumentasiannya dapat dilakukan melalui pendekatan sistem tubuh.
Tehnik yang dilakukan meliputi inspeksi, palpasi, perkusi dan auskultasi. Umumnya semua berurutan, kecuali pengakajian fisik di abdomen yang auskultasi dilakukan setelah inspeksi. Inspeksi dilakukan melalui pengamatan langsung, termasuk dengan pendengaran dan penciuman. Sedangkan palpasi dengan menggunakan tangan kita untuk merasakan tekstur kulit, meraba adanya massa di bawah kulit, suhu tubuh dan vibrasi/getaran juga dapat dipalpasi. Berbeda dengan perkusi yang digunakan untuk mendengar suara yang dipantulkan jaringan tubuh di bawah kulit atau struktur organ. Suara yang dihasilkan dari ketukan tangan kita dapat dinilai dari timpani atau resonan dan dull atau flat . Sedangkan auskultasi dengan menggunakan stetoskop untuk mendengarkan suara organ tubuh, dan penting untuk mengkaji sistem pernapasan, jantung dan sistem pencernaan.
Sedangkan kriteria pemeriksaan fisik yang penting adalah meliputi :
a. Tanda-tanda vital / vital sign (suhu, nadi, pernapasan dan tekanan darah)
b. Observasi keaadaan umum pasien dan perilakunya
c. Kaji adanya perubahan penglihatan dan pendengaran
d. Pengakajian head to toe seluruh sistem tubuh dengan memaksimalkan tehnik inspeksi, palpasi, perkusi dan auskultasi
Berikut ini merupakan detail pemeriksaan fisik, yang meliputi head to toe dan pendekatan sistem tubuh adalah :

a. Sistem syaraf pusat

1. Kaji LOC (level of consiousness) atau tingkat kesadaran : dengan melakukan pertanyaan tentang kesadaran pasien terhadap waktu, tempat dan orang
2. Kaji status mental
3. Kaji tingkat kenyamanan, adanya nyeri dan termasuk lokasi, durasi, tipe dan pengobatannya.
4. Kaji fungsi sensoris dan tentukan apakah normal atau mengalami gangguan. Kaji adanya hilang rasa, rasa terbakar/panas dan baal.
5. Kaji fungsi motorik seperti : genggaman tangan, kekuatan otot, pergerakan dan postur
6. Kaji adanya kejang atau tremor
7. Kaji catatan penggunaan obat dan diagnostik tes yang mempengaruhi SSP.

b. Sistem Kardiovaskular

1. Kaji nadi : frekuensi, irama, kualitas (keras dan lemah) serta tanda penurunan kekuatan/pulse deficit
2. Periksa tekanan darah : kesamaan antara tangan kanan dan kiri atau postural hipotensi
3. Inspeksi vena jugular seperti distensi, dengan membuat posisi semi fowlers
4. Cek suhu tubuh dengan metode yang tepat, atau palpasi kulit.
5. Palpasi dada untuk menentukan lokasi titik maksimal denyut jantung
6. Auskultasi bunyi jantung S1- S2 di titik tersebut, adanya bunyi jantung tambahan, murmur dan bising.
7. Inspeksi membran mukosa dan warna kulit, lihat tanda sianosis (pucat) atau kemerahan
8. Palpasi adanya edema di ekstremitas dan wajah
9. Periksa adanya jari-jari tabuh dan pemeriksaan pengisian kapiler di kuku
10. Kaji adanya tanda-tanda perdarahan (epistaksis, perdarahan saluran cerna, phlebitis, kemerahan di mata atau kulit.
11. Kaji obat-obatan yang mempengaruhi sistem kardiovaskular dan test diagnostik.


c. Sistem Respirasi (Pernapasan)

1. Kaji keadaan umum dan pemenuhan kebutuhan respirasi
2. Kaji respiratory rate, irama dan kualitasnya
3. Inspeksi fungsi otot bantu napas, ukuran rongga dada, termasuk diameter anterior dan posterior thorax, dan adanya gangguan spinal
4. Palpasi posisi trakea dan adanya subkutan emphysema
5. Auskultasi seluruh area paru dan kaji suara paru normal (vesikular, bronkovesikular, atau bronkial) dan kaji juga adanya bunyi paru patologis (wheezing, cracles atau ronkhi)
6. Kaji adanya keluhan batuk, durasi, frekuensi dan adanya sputum/dahak, cek warna, konsistensi dan jumlahnya dan apakah disertai darah
7. Kaji adanya keluhan SOB (shortness of breath)/sesak napas, dyspnea dan orthopnea.
8. Inspeksi membran mukosa dan warna kulit
9. Tentukan posisi yang tepat dan nyaman untuk meningkatkan fungsi pernapasan pasien
10. Kaji apakah klien memiliki riwayat merokok (jumlah per hari) dan berapa lama telah merokok
11. Kaji catatan obat terkait dengan sistem pernapasan dan test diagnostik

d. Sistem Pencernaan

1. Inspeksi keadaan umum abdomen : ukuran, kontur, warna kulit dan pola pembuluh vena (venous pattern)
2. Auskultasi abdomen untuk mendengarkan bising usus
3. Palpasi abdomen untuk menentukan : lemah, keras atau distensi, adanya nyeri tekan, adanya massa atau asites
4. Kaji adanya nausea dan vomitus
5. Kaji tipe diet, jumlah, pembatasan diet dan toleransi terhadap diet
6. Kaji adanya perubahan selera makan, dan kemampuan klien untuk menelan
7. Kaji adanya perubahan berat badan
8. Kaji pola eliminasi : BAB dan adanya flatus
9. Inspeksi adanya ileostomy atau kolostomi, yang nantinya dikaitkan dengan fungsi (permanen atau temporal), kondisi stoma dan kulit disekitarnya, dan kesediaan alat
10. Kaji kembali obat dan pengkajian diagnostik yang pasien miliki terkait sistem GI

e. Sistem Perkemihan

1. Kaji kebiasaan pola BAK, output/jumlah urine 24 jam, warna, kekeruhan dan ada/tidaknya sedimen
2. Kaji keluhan gangguan frekuensi BAK, adanya dysuria dan hematuria, serta riwayat infeksi saluran kemih
3. Palpasi adanya distesi bladder (kandung kemih)
4. Inspeksi penggunaan condom catheter, folleys catheter, silikon kateter atau urostomy atau supra pubik kateter
5. Kaji kembali riwayat pengobatan dan pengkajian diagnostik yang terkait dengan sistem perkemihan

f. Sistem Integumen

1. Kaji integritas kulit dan membrane mukosa, turgor, dan keadaan umum kulit (jaundice, kering)
2. Kaji warna kulit, pruritus, kering, odor
3. Kaji adanya luka, bekas operasi/skar, drain, dekubitus, dsb
4. Kaji resiko terjadinya luka tekan dan ulkus
5. Palpasi adanya nyeri, edema, dan penurunan suhu
6. Kaji riwayat pengobatan dan test diagnostik terkait sistem integument

g. Sistem muskuloskeletal

1. Kaji adanya nyeri otot, kram atau spasme
2. Kaji adanya kekakuan sendi dan nyeri sendi
3. Kaji pergerakan ekstremitas tangan dan kaki, ROM (range of motion), kekuatan otot
4. Kaji kemampuan pasien duduk, berjalan, berdiri, cek postur tubuh
5. Kaji adanya tanda-tanda fraktur atau dislokasi
6. Kaji ulang pengobatan dan test diagnostik yang terkait sistem musculoskeletal
i. Sistem Physikososial
1. Kaji perasaan pasien tentang kondisinya dan penyakitnya
2. Kaji tingkat kecemasan, mood klien dan tanda depresi
3. Kaji pemenuhan support sistem
4. Kaji pola dan gaya hidup klien yang mempengaruhi status kesehatan
5. Kaji riwayat penyalah gunaan obat, narkoba, alkohol, seksual abuse, emosional dan koping mekanisme
6. Kaji kebutuhan pembelajaran dan penyuluhan kesehatan

3. Dokumentasi

Semua informasi yang diperoleh dari hasil wawancara dan pemeriksaan fisik harus didokumentasikan dalam catatan pengkajian keperawatan klien. Hal ini nantinya mendukung pencatatan data objektif dan data subjektif, yang mengarahkan diagnosa keperawatan yang akan ditegakkan. Rencana dan tujuan nursing care plan (NCP) yang akan dibuat sesuai format PER (Problem – Etiologi dan Respon) akan berguna untuk perawat, pasien dan tenaga kesehatan lainnya

Jumat, 16 November 2007

MEMUPUK RASA PERCAYA DIRI

KEPERCAYAAN DIRI

Kepercayaan diri adalah sikap positif seorang individu yang memampukan dirinya untuk mengembangkan penilaian positif baik terhadap diri sendiri maupun terhadap lingkungan/situasi yang dihadapinya. Hal ini bukan berarti bahwa individu tersebut mampu dan kompeten melakukan segala sesuatu seorang diri, alias “sakti”. Rasa percaya diri yang tinggi sebenarnya hanya merujuk pada adanya beberapa aspek dari kehidupan individu tersebut dimana ia merasa memiliki kompetensi, yakin, mampu dan percaya bahwa dia bisa – karena didukung oleh pengalaman, potensi aktual, prestasi serta harapan yang realistik terhadap diri sendiri.

KARAKTERISTIK

Karakteristik atau ciri-ciri Individu yang percaya diri, diantaranya adalah :
• Percaya akan kompetensi/kemampuan diri, hingga tidak membutuhkan pujian, pengakuan, penerimaan, atau pun rasa hormat orang lain
• Tidak terdorong untuk menunjukkan sikap konformis demi diterima oleh orang lain atau kelompok
• Berani menerima dan menghadapi penolakan orang lain – berani menjadi diri sendiri
• Punya pengendalian diri yang baik (tidak moody dan emosinya stabil)
• Memiliki internal locus of control (memandang keberhasilan atau kegagalan, tergantung dari usaha diri sendiri dan tidak mudah menyerah pada nasib atau keadaan serta tidak tergantung/mengharapkan bantuan orang lain)
• Mempunyai cara pandang yang positif terhadap diri sendiri, ornag lain dan situasi di luar dirinya
• Memiliki harapan yang realistik terhadap diri sendiri, sehingga ketika harapan itu tidak terwujud, ia tetap mampu melihat sisi positif dirinya dan situasi yang terjadi.

Karakteristik atau ciri-ciri Individu yang kurang percaya diri, diantaranya adalah:
• Berusaha menunjukkan sikap konformis, semata-mata demi mendapatkan pengakuan dan penerimaan kelompok
• Menyimpan rasa takut/kekhawatiran terhadap penolakan
• Sulit menerima realita diri (terlebih menerima kekurangan dir) dan memandang rendah kemampuan diri sendiri – namun di lain pihak memasang harapan yang tidak realistik terhadap diri sendiri
• Pesimis, mudah menilai segala sesuatu dari sisi negatif
• Takut gagal, sehingga menghindari segala resiko dan tidak berani memasang target untuk berhasil
• Cenderung menolak pujian yang ditujukan secara tulus (karena undervalue diri sendiri)
• Selalu menempatkan/memposisikan diri sebagai yang terakhir, karena menilai dirinya tidak mampu
• Mempunyai external locus of control (mudah menyerah pada nasib, sangat tergantung pada keadaan dan pengakuan/penerimaan serta bantuan orang lain)


MEMUPUK RASA PERCAYA DIRI

1. Evaluasi diri secara obyektif

Belajar menilai diri secara obyektif dan jujur. Susunlah daftar “kekayaan” pribadi, seperti prestasi yang pernah diraih, sifat-sifat positif, potensi diri baik yang sudah diaktualisasikan maupun yang belum, keahlian yang dimiliki, serta kesempatan atau pun sarana yang mendukung kemajuan diri. Sadari semua asset-asset berharga Anda dan temukan asset yang belum dikembangkan. Pelajari kendala yang selama ini menghalangi perkembangan diri Anda, seperti : pola berpikir yang keliru, niat dan motivasi yang lemah, kurangnya disiplin diri, kurangnya ketekunan dan kesabaran, tergantung pada bantuan orang lain, atau pun sebab-sebab eksternal lain. Hasil analisa dan pemetaan terhadap SWOT (Strengths, Weaknesses, Obstacles and Threats) diri, kemudian digunakan untuk membuat dan menerapkan strategi pengembangan diri yang lebih realistik.

2. Beri penghargaan yang jujur terhadap diri

Sadari dan hargailah sekecil apapun keberhasilan dan potensi yang anda miliki. Ingatlah bahwa semua itu didapat melalui proses belajar, berevolusi dan transformasi diri sejak dahulu hingga kini. Mengabaikan/meremehkan satu saja prestasi yang pernah diraih, berarti mengabaikan atau menghilangkan satu jejak yang membantu Anda menemukan jalan yang tepat menuju masa depan. Ketidakmampuan menghargai diri sendiri, mendorong munculnya keinginan yang tidak realistik dan berlebihan; contoh: ingin cepat kaya, ingin cantik, populer, mendapat jabatan penting dengan segala cara. Jika ditelaah lebih lanjut semua itu sebenarnya bersumber dari rasa rendah diri yang kronis, penolakan terhadap diri sendiri, ketidakmampuan menghargai diri sendiri – hingga berusaha mati-matian menutupi keaslian diri.

3. Positive thinking
Cobalah memerangi setiap asumsi, prasangka atau persepsi negatif yang muncul dalam benak Anda. Anda bisa katakan pada diri sendiri, bahwa nobody’s perfect dan it’s okay if I made a mistake. Jangan biarkan pikiran negatif berlarut-larut karena tanpa sadar pikiran itu akan terus berakar, bercabang dan berdaun. Semakin besar dan menyebar, makin sulit dikendalikan dan dipotong. Jangan biarkan pikiran negatif menguasai pikiran dan perasaan Anda. Hati-hatilah agar masa depan Anda tidak rusak karena keputusan keliru yang dihasilkan oleh pikiran keliru. Jika pikiran itu muncul, cobalah menuliskannya untuk kemudian di re-view kembali secara logis dan rasional. Pada umumnya, orang lebih bisa melihat bahwa pikiran itu ternyata tidak benar.

4. Gunakan self-affirmation

Untuk memerangi negative thinking, gunakan self-affirmation yaitu berupa kata-kata yang membangkitkan rasa percaya diri. Contohnya:
• Saya pasti bisa !!
• Saya adalah penentu dari hidup saya sendiri. Tidak ada orang yang boleh menentukan hidup saya !
• Saya bisa belajar dari kesalahan ini. Kesalahan ini sungguh menjadi pelajaran yang sangat berharga karena membantu saya memahami tantangan
• Sayalah yang memegang kendali hidup ini
• Saya bangga pada diri sendiri

5. Berani mengambil resiko

Berdasarkan pemahaman diri yang obyektif, Anda bisa memprediksi resiko setiap tantangan yang dihadapi. Dengan demikian, Anda tidak perlu menghindari setiap resiko, melainkan lebih menggunakan strategi-strategi untuk menghindari, mencegah atau pun mengatasi resikonya. Contohnya, Anda tidak perlu menyenangkan orang lain untuk menghindari resiko ditolak. Jika Anda ingin mengembangkan diri sendiri (bukan diri seperti yang diharapkan orang lain), pasti ada resiko dan tantangannya. Namun, lebih buruk berdiam diri dan tidak berbuat apa-apa daripada maju bertumbuh dengan mengambil resiko. Ingat: No Risk, No Gain.

6. Belajar mensyukuri dan menikmati rahmat Tuhan

Ada pepatah mengatakan yang mengatakan orang yang paling menderita hidupnya adalah orang yang tidak bisa bersyukur pada Tuhan atas apa yang telah diterimanya dalam hidup. Artinya, individu tersebut tidak pernah berusaha melihat segala sesuatu dari kaca mata positif. Bahkan kehidupan yang dijalaninya selama ini pun tidak dilihat sebagai pemberian dari Tuhan. Akibatnya, ia tidak bisa bersyukur atas semua berkat, kekayaan, kelimpahan, prestasi, pekerjaan, kemampuan, keahlian, uang, keberhasilan, kegagalan, kesulitan serta berbagai pengalaman hidupnya. Ia adalah ibarat orang yang selalu melihat matahari tenggelam, tidak pernah melihat matahari terbit. Hidupnya dipenuhi dengan keluhan, rasa marah, iri hati dan dengki, kecemburuan, kekecewaan, kekesalan, kepahitan dan keputusasaan. Dengan “beban” seperti itu, bagaimana individu itu bisa menikmati hidup dan melihat hal-hal baik yang terjadi dalam hidupnya? Tidak heran jika dirinya dihinggapi rasa kurang percaya diri yang kronis, karena selalu membandingkan dirinya dengan orang-orang yang membuat “cemburu” hatinya. Oleh sebab itu, belajarlah bersyukur atas apapun yang Anda alami dan percayalah bahwa Tuhan pasti menginginkan yang terbaik untuk hidup Anda.

7. Menetapkan tujuan yang realistik

Anda perlu mengevaluasi tujuan-tujuan yang Anda tetapkan selama ini, dalam arti apakah tujuan tersebut sudah realistik atau tidak. Dengan menerapkan tujuan yang lebih realistik, maka akan memudahkan anda dalam mencapai tujuan tersebut. Dengan demikian anda akan menjadi lebih percaya diri dalam mengambil langkah, tindakan dan keputusan dalam mencapai masa depan, sambil mencegah terjadinya resiko yang tidak diinginkan.

Mungkin masih ada beberapa cara lain yang efektif untuk menumbuhkan rasa percaya diri. Jika anda dapat melakukan beberapa hal seperti yang disarankan di atas, niscaya anda akan terbebas dari krisis kepercayaan diri. Namun demikian satu hal perlu diingat baik-baik adalah jangan sampai anda mengalami over confidence atau rasa percaya diri yang berlebih-lebihan/overdosis. Rasa percaya diri yang overdosis bukanlah menggambar kondisi kejiwaan yang sehat karena hal tersebut merupakan rasa percaya diri yang bersifat semu.

Rasa percaya diri yang berlebihan pada umumnya tidak bersumber dari potensi diri yang ada, namun lebih didasari oleh tekanan-tekanan yang mungkin datang dari orangtua dan masyarakat (sosial), hingga tanpa sadar melandasi motivasi individu untuk “harus” menjadi orang sukses. Selain itu, persepsi yang keliru pun dapat menimbulkan asumsi yang keliru tentang diri sendiri hingga rasa percaya diri yang begitu besar tidak dilandasi oleh kemampuan yang nyata. Hal ini pun bisa didapat dari lingkungan di mana individu di besarkan, dari teman-teman (peer group) atau dari dirinya sendiri (konsep diri yang tidak sehat). Contohnya, seorang anak yang sejak lahir ditanamkan oleh orangtua, bahwa dirinya adalah spesial, istimewa, pandai, pasti akan menjadi orang sukses, dsb – namun dalam perjalanan waktu anak itu sendiri tidak pernah punya track record of success yang riil dan original (atas dasar usahanya sendiri). Akibatnya, anak tersebut tumbuh menjadi seorang manipulator dan dan otoriter – memperalat, menguasai dan mengendalikan orang lain untuk mendapatkan apa yang dia inginkan. Rasa percaya diri pada individu seperti itu tidaklah didasarkan oleh real competence, tapi lebih pada faktor-faktor pendukung eksternal, seperti kekayaan, jabatan, koneksi, relasi, back up power keluarga, nama besar orangtua, dsb. Jadi, jika semua atribut itu ditanggalkan, maka sang individu tersebut bukan siapa-siapa. (acf; dari berbagai sumber))

ASKEP LANSIA DENGAN GANGGUAN PSIKOSOSIAL

(Alam Perasaan & Konsep Diri)

Tujuan :
• Menjelaskan perubahan-perubahan psikososial yang menyertai proses menua
• Menyebutkan masalah yang timbul sebagai konsekuensi perubahan psikososial
• Mengidentifikasi & menyusun rencana intervensi sebagai implikasi keperawatan terhadap masalah yang timbul.

Perubahan Psikososial Lansia
• Pensiun
• Identitas sering dikaitkan dengan peranan dalam pekerjaan
• Sadar akan kematian
• Kehilangan hubungan dengan teman-teman & famili
• Penyakit kronis & ketidakmampuan
• Perubahan terhadap gambaran diri, konsep diri
• Kesepian (loneliness)

Masalah Psikososial Lansia
• Aspek Sosial Lansia :
Sikap, nilai, keyakinan terhadap lansia, label/stigma, perubahan sosial
• Ketergantungan :
Penurunan fungsi, penyakit fisik
• Gangguan konsep diri
• Gangguan alam perasaan : Depresi

Faktor Resiko Masalah Psikososial Lansia
• Sumber finansial yang kurang
• Tipe kepribadian : manajemen stress
• Kejadian yang tidak terduga
• Jumlah kejadian pada waktu yang berdekatan
• Dukungan sosial kurang

PENGERTIAN KONSEP DIRI
 Konsep diri adalah semua ide, pikiran, kepercayaan dan pendirian yang diketahui individu tentang dirinya dan mempengaruhi individu dalam berhubungan dengan orang lain (Stuart dan Sundeen, 1998).

 Konsep diri adalah cara individu memandang dirinya secara utuh, baik fisikal, emosional intelektual , sosial dan spiritual (Beck, William dan Rawlin,1986)

 Konsep diri tidak langsung ada begitu individu di lahirkan, tetapi secara bertahap seiring dengan tingkat pertumbuhan dan perkembangan individu.

 Konsep diri akan terbentuk karena pengaruh ligkungannya.

 Konsep diri juga akan di pelajari oleh individu melalui kontak dan pengalaman dengan orang lain termasuk berbagai stressor yang dilalui individu tersebut.

 Gangguan Konsep diri : Kekacaua individu dalam melihat citra tubuh, penampilan peran atau identitas personal.


KOMPONEN KONSEP DIRI

1. Gambaran diri / Citra Tubuh ( Body Image )

 Gambaran diri adalah sikap seseorang terhadap tubuhnya secara sadar dan tidak sadar.

 Sikap ini mencakup persepsi dan perasaan tentang ukuran, bentuk, fungsi penampilan dan potensi tubuh saat ini dan masa lalu yang secara berkesinambungan dimodifikasi dengan pengalaman baru setiap individu (Stuart and Sundeen , 1991).

 Gangguan Gambaran Diri : Perubahan persepsi tentang tubuh yang diakibatkan oleh perubahan bentuk, ukuran, struktur, fungsi, keterbatasan, makna dan objek yang sering kontak dengan tubuh.

 Perubahan fisik terkait usia, efek penyakit


2. Ideal Diri.

 Ideal diri adalah persepsi individu tentang bagaimana ia harus berperilaku berdasarkan standart, aspirasi, tujuan atau penilaian personal tertentu ( Stuart and Sundeen ,1991).

 Standart dapat berhubungan dengan tipe orang yang akan diinginkan atau sejumlah aspirasi, cita - cita, nilai - nilai yang ingin di capai .


Menurut Ana Keliat ( 1998 ) ada beberapa faktor yang mempengaruhi ideal diri yaitu :
1. Kecenderungan individu menetapkan ideal pada batas kemampuannya.
2. Faktor budaya akan mempengaruhi individu menetapkan ideal diri.
3. Ambisi dan keinginan untuk melebihi dan berhasil, kebutuhan yang realistis, keinginan untuk mengklaim diri dari kegagalan, perasaan cemas dan rendah diri.
4. Kebutuhan yang realistis.
5. Keinginan untuk menghindari kegagalan.
6. Perasaan cemas dan rendah diri.

Ideal diri ini hendaknya ditetapkan tidak terlalu tinggi, tetapi masih lebih tinggi dari kemampuan agar tetap menjadi pendorong dan masih dapat dicapai (Kelliat, 1992 ).

 Gangguan Ideal diri : Ideal diri yang terlalu tinggi, sukar dicapai, dan tidak realistis


3. Harga Diri (Self – Esteem)

 Harga diri adalah penilaian pribadi terhadap hasil yang dicapai dengan menganalisa seberapa jauh perilaku memenuhi ideal diri (Stuart and Sundeen,1991).

 Jika individu sering gagal , maka cenderung harga diri rendah.

 Harga diri diperoleh dari diri sendiri dan orang lain.

 Aspek utama adalah di cintai dan menerima penghargaan dari orang lain (Keliat, 1992).

 Gangguan Harga diri : Perasaan negatif terhadap diri sendiri, hilang kepercayaan diri,


4. Peran.
 Peran adalah sikap dan perilaku nilai serta tujuan yang diharapkan dari seseorang berdasarkan posisinya di masyarakat (Keliat, 1992 ).
 Stress peran terdiri dari konflik peran yang tidak jelas dan peran yang tidak sesuai atau peran yang terlalu banyak.
 Posisi di masyarakat dapat merupakan stresor terhadap peran karena struktur sosial yang menimbulkan kesukaran, tuntutan serta posisi yang tidak mungkin dilaksanakan (Keliat, 1992).

 Gangguan Peran : Berubah atau berhentinya fungsi peran disebabkan oleh penyakit, proses menua, putus sekolah, putus hubungan kerja.

 Muncul tatkala perubahan tidak diterima individu.

 Faktor yang mempengaruhi : peran berlebihan, citra tubuh, perubahan fisik, faktor sosial.


5. Identitas

 Identitas adalah kesadaran akan diri sendiri yang bersumber dari observasi dan penilaian yang merupakan sintesa dari semua aspek konsep diri sendiri sebagai satu kesatuan yang utuh (Stuart and Sundeen, 1991)

 Hal yang penting dalam identitas adalah jenis kelamin (Keliat,1992).

Karakteristik identitas diri dapat dimunculkan dari perilaku dan perasaan seseorang, seperti :
1. Individu mengenal dirinya sebagai makhluk yang terpisah dan berbeda dengan orang lain.
2. Individu mengakui atau menyadari jenis seksualnya
3. Individu mengakui dan menghargai berbagai aspek tentang dirinya, peran, nilai dan prilaku secara harmonis
4. Individu mengaku dan menghargai diri sendiri sesuai dengan penghargaan lingkungan sosialnya
5. Individu sadar akan hubungan masa lalu, saat ini dan masa yang akan datang
6. Individu mempunyai tujuan yang dapat dicapai dan direalisasikan (Meler dikutip Stuart and Sundeen, 1991)

 Gangguan Identitas : kekaburan/ketidakpastian memandang diri sendiri, penuh keraguan, sukar menetapkan keinginan dan tidak mampu mengambil keputusan.


MASALAH KEPERAWATAN
Gangguan harga diri : harga diri rendah
Isolasi sosial : menarik diri
Resiko perilaku kekerasan
Gangguan citra tubuh
Gangguan identitas personal
Perubahan penampilan peran
Ketidakmampuan

PRINSIP TINDAKAN
Meningkatkan harga diri
Memaksimalkan kemandirian : self care, ADL
Meningkatkan kontrol diri : peran serta, pengambilan keputusan
Menyediakan dukungan sosial

RENCANA TINDAKAN

Konseling individual
• Perawat berperan sebagai fasilitator untuk membantu klien
• Tripple ”S” : Sabar, Simpatik, Service
• Fokus :
- Terapi individual
- Bantu individu mengidentifikasi kekuatan
- Penurunan harapan yang tidak realistis

Pendekatan kelompok
• Tujuan :
- Menguatkan integritas ego pada lansia
- Penguatan kontak sosial bagi anggota kelompok
- Meningkatnya perasaan ”sama” terhadap perubahan menjadi tua
- Meningkatkan ingatan masa lalu & kemampuan berempati terhadap annggota lain

Intervensi Jaringan
• Tujuan :
- Meningkatkan peran-peran yang tersedia bagi lansia termasuk identitas personal, harga diri & penampilan peran

Modifikasi lingkungan
• Hindari penilaian negatif, beri pujian realistis
• Perluas kesadaran klien terhadap aspek positif yang dimiliki
• Beri kesempatan klien untuk berhasil
• Diskusikan harapan-harapan klien
• Tingkatkan interaksi sosial

EVALUASI
• Dapat diukur melalui :
- Perilaku merawat diri
- Kontak mata
- Postur
- Pernyataan tentang diri


ALAM PERASAAN

Adalah keadaan emosional yang berkepanjangan yang mempengaruhi seluruh kepribadian dan fungsi kehidupan seseorang.

Gangguan alam perasaan : gangguan emosional yang disertai gejala mania atau depresi.

Mania : Suatu gangguan alam perasaan yang ditandai dengan adanya alam perasaan yang meningkat, meluas atau keadaan emocional yang mudah tersinggung dan terangsang.

Depresi : Statu gangguan alam perasaan yang ditandai dengan perasaan cedí dan berduka yang berlebihan dan berkepanjangan

Depresi pada lansia bukan merupakan patologi tunggal, biasanya multifactorial oleh karena stress lingkungan & penurunan kemampuan beradaptasi.
Diagnosis Depresi menurut kriteria DSM-III R
Jika terdapat 5/lebih gejala :
• Perasaan tertekan hampir sepanjang hari
• Secara nyata penurunan perhatian/keinginan untuk berbagai aktivitas/kesenangan
• BB turun/naik secara nyata
• Insomnia/hipersomnia
• Agitasi
• Rasa capai/lemah & hilangnya kekuatan
• Perasaan bersalah, tidak berharga
• Hilangnya kemampuan berfikir, konsentrasi atau membuat keputusan
• Pikiran berulang tentang kematian, bunuh diri

Depresi pada lansia seringkali kurang/tidak terdiagnosa karena hal-hal sbb:
• Penyakiit fisik yang dideriat seringkali mengacaukan gambaran depresi, ex:mudah lelah, Penuruanan BB
• Lansia yang menutupi rasa sedihnya justru dengan menunjukkan bahwa dia lebih aktif
• Kecemasan, obsesional, histeria hipokondria yang merupakan gejala depresi justru sering menutupi depresinya
• Masalah sosial yang juga diderita seringkali membuat gambaran depresi menjadi lebih rumit.

PENGKAJIAN

Faktor predisposisi : Genetik (kembar monozigot), kehilangan, tipe kepribadian tertentu, penilaian negatif terhadaf diri sendiri, menyalahkan diri sendiri, ketidakberdayaan (keyakinan akan ketidakmampuannya ; tidak berupaya mengembangkan respon adaptif), kurangnya pujian positif selama berinteraksi dengan lingkungan.

Faktor presipitasi : berbagai penyakit fisik (faktor biologis), kehilangan (faktor psikologis)

Perilaku & mekanisme koping : denial, supresi

MASALAH KEPERAWATAN
Berduka disfungsional
Ketidakberdayaan
Gangguan pola tidur
Resiko terhadap cedera
Perubahan nutrisi
Defisit perawatan diri
Ansietas


TUJUAN & TINDAKAN

Tujuan : mengajarkan klien untuk bersepons emosional yang adaptif

Tindakan :
Lingkungan aman, cegah terjadinya kecelakaan
Hubungan saling percaya prwt – klien
Dorong untuk mengekspresikan pengalaman yang menyakitkan untuk mengurangi intensitas masalah
Ubah pikiran negatif identifikasi aspek positif (kemampuan, keberhasilan), bantu mengubah persepsi yang salah/negatif ; positif, beri pujian
Libatkan dalam kegiatan dan interaksi sosial
Meningkatkan status kesehatan : perawatan diri, istirahat, makan, minum.

Kamis, 15 November 2007

HUBUNGAN PENGETAHUAN PERAWAT DENGAN MOTIVASI PELAKSANAAN TAKS DI RUANG RAWAT INAP

ABSTRAK

Gangguan jiwa merupakan penyakit multikausal sehingga banyak model konsep yang mencoba menjelaskan fenomena gangguan jiwa tersebut, beberapa jenis terapi yang dikenal dalam psikiatri salah satunya adalah terapi modalitas termasuk didalamnya terapi aktivitas kelompok/terapi aktivitas kelompok sosialisasi (TAKS). Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui hubungan antara pengetahuan perawat tentang TAKS dengan motivasi pelaksanaan TAKS di ruang rawat inap Rumah Sakit Jiwa Propinsi Lampung. Dalam pelaksanaan TAK/TAKS tidak terlepas dari pengetahuan perawat sebagai terapis. Penelitian ini menggunakan desain deskriptif korelasi Cross Sectional untuk mencari hubungan antara pengetahuan perawat tentang TAKS dengan motivasi pelaksanaan TAKS di Ruang Rawat Inap Rumah Sakit Jiwa Propinsi Lampung. Data yang diambil adalah perawat ruang rawat inap Rumah Sakit Jiwa Propinsi Lampung yang menjadi responden dalam penelitian, populasi penelitian berjumlah 32 responden, teknik sampel yang digunakan adalah total sampling. Data yang diolah kemudian diinterpretasikan ke dalam analisa univariat yaitu pengetahuan perawat ruang rawat inap tentang TAKS yang tinggi 19 orang (59.4%) dan 13 orang (40.6%) mempunyai pengetahuan yang rendah sama halnya untuk motivasi pelaksanaan TAKS yaitu 18 orang (56.2%) mempunyai motivasi yang tinggi dalam pelaksanaan TAKS sementara 14 orang (43.8%) mempunyai motivasi yang rendah dalam pelaksanaan TAKS dan analisa bivariat yang hasilnya adalah terdapat hubungan yang signifikan antara pengetahuan perawat tentang TAKS dengan motivasi pelaksanaan TAKS di Ruang Rawat Inap Rumah Sakit Jiwa Propinsi Lampung dengan nilai pValue sebesar 0,000 dan derajat keeratannya sebesar 29,33 dimana perawat berpengetahuan tentang TAKS tinggi berpeluang 29,33 kali memiliki motivasi pelaksanaan TAKS tinggi dibandingkan perawat berpengetahuan tentang TAKS rendah. Untuk Institusi Pendidikan disarankan untuk melanjutkan penelitian tentang faktor-faktor yang mempengaruhi peningkatan motivasi pelaksanaan TAKS di Rumah Sakit Jiwa


PENGANTAR

Masalah kesehatan jiwa telah menjadi perhatian dunia terutama karena masalah kesehatan jiwa merupakan penyebab terbesar hilangnya sejumlah tahun kualitas kehidupan manusia. Ratusan jiwa wanita, pria dan anak-anak menderita gangguan jiwa, sementara sejumlah besar lainnya mengalami distress karena korban tindak kekerasan, kemiskinan dan eksploitasi, penyalahgunaan zat dan masalah perilaku lain mempengaruhi kehidupan remaja, dewasa muda dan lansia1.
Menurut catatan Rumah Sakit Jiwa (diambil dari Lampung Post; Jum`at, 28 April 2006), 57% dari 7.012 pasien pada tahun 2005, penderita gangguan jiwa berada pada usia produktif, yaitu 25 hingga 44 tahun, dan 67% diantaranya pria.
Melalui survai kesehatan jiwa rumah tangga yang dilakukan pada penduduk 11 kota terpilih di Indonesia, dilaporkan prevalensi gangguan kesehatan jiwa sebesar 185 orang dalam 1000 penduduk. Ini berarti bahwa di setiap rumah tangga yang terdiri dari 5 – 6 anggota keluarga, terdapat satu orang gangguan kesehatan jiwa2.
Upaya-upaya untuk meningkatkan mutu pelayanan keperawatan jiwa telah dilakukan oleh tenaga keperawatan, dengan melakukan kegiatan terapi aktifitas kelompok (TAK) sebagai terapi atau tindakan keperawatan jiwa yang bertujuan untuk menyelesaikan masalah keperawatan kesehatan jiwa serta mengubah perilaku klien menjadi adaptif melalui dinamika kelompok. Dalam melakukan Terapi Aktifitas Kelompok yang sering disebut dengan terapis tentu tidak terlepas dari pengetahuan dan kemampuan terapis, hal ini diharapkan bisa mengatasi dan memecahkan permasalahan klien yang dirawat di Rumah sakit jiwa.
Berdasarkan pengamatan peneliti dalam pelaksanaan dilapangan khususnya di Rumah sakit jiwa propinsi Lampung untuk pelaksanaan terapi aktifitas kelompok jarang atau tidak rutin dilakukan oleh perawat ruangan rawat inap walaupun ada tetapi tidak didokumentasikan, sementara TAK sering dilakukan oleh mahasiswa AKPER yang sedang praktik di Rumah sakit jiwa Propinsi Lampung. Berdasarkan data studi pendahuluan pada hari rabu tanggal 20 April 2006 yang didapat dari kepala seksi keperawatan dan kepala perawat ruangan rawat inap yang terdokumentasi untuk pelaksanaan TAK dan TAKS yang dilakukan oleh perawat ruangan rawat inap yaitu pada tahun 2002 TAK dilakukan sebanyak 5 kali, tahun 2003 TAK dilakukan 10 kali, tahun 2004 sampai dengan bulan April 2005 TAK tidak terdokumentasi, bulan Mei sampai dengan bulan Desember 2005 TAK dilakukan sebanyak 7 kali, pada tahun 2006 sampai dengan bulan April TAK dilakukan sebanyak 8 kali dan TAKS dilakukan sebanyak 9 kali.
Motivasi merupakan karakteristik psikologi manusia yang memberi kontribusi pada tingkat komitmen seseorang. Motivasi termasuk beberapa faktor yang menyebabkan, menyalurkan, dan mempertahankan tingkah laku manusia. Memotivasi adalah proses manajemen untuk mempengaruhi tingkah laku manusia berdasarkan pengetahuan mengenai apa yang membuat orang tergerak. Fokus motivasi dalam rentang tingkah laku manusia terdiri dari refleks, dapat dipengaruhi, dan kebiasaan. Asumsi dasar mengenai motivasi menurut Stoner, Freeman, dan Gilbert (2003) bahwa individu mempunyai motivasi tinggi bila individu tersebut mempunyai kemampuan ilmiah atau semacam sumber daya manusia yang tinggi untuk membangkitkan motivasi.
Berdasarkan uraian diatas penulis tertarik untuk melakukan penelitian Hubungan Pengetahuan Perawat Dengan Motivasi Pelaksanaan TAKS di Ruang Rawat Inap Rumah Sakit Jiwa Propinsi Lampung.


BAHAN DAN CARA PENELITIAN

Dalam penelitian ini menggunakan desain deskripsi korelasi, suatu rancangan penelitian yang ingin melihat hubungan antara variabel bebas yaitu pengetahuan perawat tentang TAKS dan variabel terikat yaitu motivasi pelaksanaan TAKS. Populasi dalam penelitian ini adalah seluruh perawat ruangan rawat inap dengan jumlah 32 yang ada di Rumah Sakit Jiwa Propinsi Lampung. Dalam penelitian ini menggunakan teknik Total Sampling yaitu 32 perawat ruangan rawat inap sebagai responden. Peneliti melakukan penelitian di Ruang Rawat Inap Rumah Sakit Jiwa Propinsi Lampung, penelitian dilaksanakan pada minggu ke-I bulan Juni 2006.
Pengumpulan data telah dilakukan dengan menggunakan alat ukur kuisioner yang telah dibuat oleh peneliti dengan mengacu pada teori yang ada di tinjauan pustaka yang terdiri dari 20 pernyataan untuk variabel bebas yaitu pengetahuan perawat tentang TAKS dan 10 pernyataan untuk variabel terikat yaitu motivasi pelaksanaan TAKS.
Teknik pengumpulan data dilakukan dengan cara menggunakan kuisioner yang diberikan kepada seluruh perawat ruang rawat inap di Rumah Sakit Jiwa Propinsi Lampung.


Analisa Bivariat

Analisa Bivariat dilakukan untuk mengetahui hubungan pengetahuan perawat tentang TAKS dengan motivasi pelaksanaan TAKS di Rumah Sakit Jiwa Propinsi Lampung dengan rumus uji statistik Chi Square Test dengan tingkat kemaknaan (level of significance) alpha 0,05 dan tingkat kepercayaan 95 % sehingga hasil analisis hubungan Pengetahuan Perawat tentang TAKS dengan Motivasi Pelaksanaan TAKS diperoleh bahwa sebanyak 16 dari 32 responden (84.2 %) perawat berpengetahuan tinggi memiliki motivasi pelaksanaan TAKS tinggi. Sedangkan 11 dari 32 responden (84.6 %) perawat berpengetahuan rendah memiliki motivasi pelaksanaan TAKS yang rendah. Hasil uji statistik diperoleh pV sebesar 0.000, maka dapat disimpulkan bahwa terdapat hubungan yang signifikan antara pengetahuan perawat tentang TAKS dengan motivasi pelaksanaan TAKS pada ruang rawat inap Rumah Sakit Jiwa Propinsi Lampung. Hipotesis terbukti. Untuk derajat keeratan hubungan antara pengetahuan perawat tentang TAKS dengan motivasi pelaksanaan TAKS di Ruang Rawat Inap Rumah Sakit Jiwa Propinsi Lampung adalah 29,33 dimana perawat berpengetahuan tentang TAKS tinggi berpeluang 29,33 kali memiliki motivasi pelaksanaan TAKS tinggi dibandingkan perawat berpengetahuan tentang TAKS rendah.

Pembahasan Hubungan Pengetahuan Perawat dengan Motivasi Pelaksanaan TAKS di Ruang Rawat Inap Rumah Sakit Jiwa Propinsi Lampung

Berdasarkan hasil analisa Univariat menunjukkan bahwa pengetahuan perawat ruang rawat inap tentang TAKS sebagian besar mempunyai pengetahuan yang tinggi yaitu 19 orang (59.4%) dan 13 orang (40.6%) mempunyai pengetahuan yang rendah sama halnya untuk motivasi pelaksanaan TAKS yaitu 18 orang (56.2%) mempunyai motivasi yang tinggi dalam pelaksanaan TAKS sementara 14 orang (43.8%) mempunyai motivasi yang rendah dalam pelaksanaan TAKS di Rumah Sakit Jiwa Propinsi Lampung. Dari hasil analisa Bivariat dengan bantuan komputer didapat pV sebesar 0,000 sementara Alpha () sebesar 0.05, sesuai dengan Hastono (2001) bahwa pV   terdapat hubungan yang signifikan atau Ho ditolak dan Ha diterima, untuk derajat keeratan hubungan antara pengetahuan perawat tentang TAKS dengan motivasi pelaksanaan TAKS sebesar 29,33 yaitu dimana perawat berpengetahuan tentang TAKS tinggi berpeluang 29,33 kali memiliki motivasi pelaksanaan TAKS tinggi dibandingkan perawat berpengetahuan tentang TAKS rendah. Dari hasil hipotesis penelitian tentang hubungan pengetahuan perawat tentang TAKS dengan motivasi pelaksanaan TAKS di ruang rawat inap Rumah Sakit Jiwa Propinsi Lampung bahwa peningkatan motivasi pelaksanaan TAKS dipengaruhi oleh pengetahuan perawat tentang TAKS, jika pengetahuan tinggi tentang TAKS maka motivasi pelaksanaan TAKS juga tinggi ini sesuai dengan Stoner, Freeman, dan Gilbert (2003) bahwa individu mempunyai motivasi yang tinggi bila individu tersebut mempunyai kemampuan ilmiah atau sumber daya manusia yang tinggi untuk membangkitkan motivasi.


KESIMPULAN DAN SARAN

Kesimpulan

Berdasarkan hasil penelitian yang dilakukan dari tanggal 15 Juni 2006 sampai dengan 19 Juni 2006 mengenai hubungan pengetahuan perawat dengan motivasi pelaksanaan TAKS di Rumah Sakit Jiwa Propinsi Lampung tahun 2006 dengan jumlah 32 responden, maka kesimpulannya sebagai berikut :
Dari hasil penelitian yang didapat tingkat pengetahuan perawat tentang TAKS di Ruang Rawat Inap Rumah Sakit Jiwa Propinsi Lampung adalah tinggi dengan prosentase 59,4 %.
Motivasi pelaksanaan TAKS perawat di Ruang Rawat Inap Rumah Sakit Jiwa Propinsi Lampung mempunyai motivasi yang tinggi untuk pelaksanaan TAKS dengan prosentase 56,2 %.
Setelah data dianalisis kemudian diinterpretasikan hipotesis terbukti yaitu terdapat hubungan pengetahuan perawat dengan motivasi pelaksanaan TAKS di Rumah Sakit Jiwa Propinsi Lampung yang sangat kuat/sempurna dan bersifat positif dengan hasil pValue sebesar 0,000 dengan derajat keeratan 29,33 yaitu dimana perawat berpengetahuan tentang TAKS tinggi berpeluang 29,33 kali memiliki motivasi pelaksanaan TAKS tinggi dibandingkan perawat berpengetahuan tentang TAKS rendah.

Saran

Dari hasil penelitian yang dilakukan, maka peneliti memberikan saran sebagai berikut :
Untuk perawat ruang rawat inap Rumah Sakit Jiwa Propinsi Lampung diharapkan hasil penelitian ini dapat memacu untuk lebih meningkatkan lagi pengetahuan tentang TAKS serta motivasi pelaksanaan TAKS lebih tinggi lagi.
Untuk Institusi Rumah Sakit berdasarkan penelitian di ruang rawat inap Rumah Sakit Jiwa Propinsi Lampung diharapkan hasil penelitian ini dapat memberikan informasi tentang hubungan pengetahuan perawat dengan motivasi pelaksanaan TAKS di ruang rawat inap Rumah Sakit Jiwa Propinsi Lampung sehingga mendapat dukungan dari pihak manjemen Rumah Sakit Jiwa Propinsi Lampung dalam meningkatkan sumber daya manusia atau pengetahuan perawat tentang TAKS serta memotivasi perawat dalam pelaksanaan TAKS.
Untuk Institusi Pendidikan diharapkan hasil penelitian ini dapat dijadikan bahan pertimbangan untuk penelitian selanjutnya serta disarankan untuk melanjutkan penelitian ini tentang faktor-faktor yang mempengaruhi peningkatan motivasi pelaksanaan TAKS di Rumah Sakit Jiwa.


KEPUSTAKAAN

Akemat, 2003, Terapi Modalitas Keperawatan Profesional Jiwa, Lawang Malang.
Ali. HZ, 2001, Dasar-dasar keperawatan profesional, Wedia Medika, Jakarta.
Baihaqi, 2005, Psikiatrik: Konsep Dasar dan Gangguan-Gangguan, Refika Adiatma, Bandung.
Maslim. R, 2002, Buku Saku PPDGJ edisi III, Jakarta.
Hamid. AY, 1999, Buku Ajar Asuhan Keperawatan Jiwa pada Anak, Wedya Medika, Jakarta.
Hasibuan.MSP, 2001, Manajemen Dasar, Pengertian, dan Masalah, Bumu Aksara, Jakarta.
Nusalam, 2003, Konsep & Penerapan Metodologi Penelitian dan Ilmu Keperawatan, Salemba Medika, Jakarta.
Soekamto. S, 1990, Sosiologi Suatu Pengantar, Raja Grafindo Persada, Jakarta.